Konferensi Meja Bundar - Menurut salah satu pernyataan Mr. Moh. Roem dan Dr. Van Royen dalam Perjanjian Roem-Royen maka akan segera dilaksanakan Konferensi Meja Bundar (KMB). Sebelum dilaksanakan KMB diadakanlah Konferensi Inter - Indonesia antara wkil-wakil Republik Indonesia dengan BFO(Bijenkomst voor Federal Overleg) atau Pertemuan Permusyawaratan Federal. Konferensi ini berlangsung dua kali yakni tanggal 19-22 Juli 1949 di Jakarta. Salah satu keputusan penting dalam Konferensi ini ialah bahwa BFO menyokong tuntutan Republik Indonesia atas penyerahan kedaulatan tanpa ikatan-ikatan politik maupun ekonomi.
Tokoh yang Mengikuti Konferensi Meja Bundar
- Delegasi Indonesia terdiri dari Mr. Moh. Roem, Prof.Dr. Mr. Soepomo, dll, dan dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta.
- Delegasi Belanda dipimpin oleh Van Maarseveen.
- BFO dipimpin Sultan Hamid II dari Pontianak.
- UNCI diwakili oleh Chritchley.
Hasil Konferensi Meja Bundar
Pada tanggal 2 November 1949 persetujuan KMB berhasil ditandatangani. Isi dari persetujuan KMB adalah sebagai berikut.
- Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat pada akhir bulan Desember 1949.
- Mengenai masalah Irian Barat penyelesaiannya ditunda satu bulan setelah pengakuan kedaulatan.
- Antara RIS dan kerajaan Belanda akan diadakan hubungan Uni Indonesia - Belanda yang akan diketuai Ratu Belanda.
- Segera akan dilakukan penarikan mundur seluruh tentara Belanda.
- Pembentukan angkatan Perang RIS (APRIS) dengan TNI sebagai intinya.
Dampak Konferensi Meja Bundar
Menurut hasil KMB itu dinyatakan bahawa pada akhir bulan Desember 1949 Belanda akan mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Oleh karena itu paada tanggal 27 Desember 1949 diadakanlah penandatanganan pengakuan di Amsterdam, Belanda oleh Ratu Juliana, Perdana Menteri Dr. Willem Drees, Menteri Seberang Lautan A.M.J.A. Sasseu, dan Drs. Moh. Hatta. Sedangkan pada waktu yang sama di Jakarta, Indonesia sedang dilaksanakan penandatangannan kedaulatan juga oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Wakil Tertinggi Mahkota AH.J. Lovink.
Dengan diakuinya kedaulatan RI oleh Belanda ini maka Indonesia berubah bentuk negaranya menjadi negara serikat yakni "Republik Indonesia Serikat (RIS)"
Latar belakang
Usaha untuk meredam kemerdekaan Indonesia dengan jalan kekerasan berakhir dengan kegagalan. Belanda mendapat kecaman keras dari dunia internasional. Belanda dan Indonesia kemudian mengadakan beberapa pertemuan untuk menyelesaikan masalah ini secara diplomasi, lewat perundingan Linggarjati dan perjanjian Renville. Pada 28 Januari 1949, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa meloloskan resolusi yang mengecam serangan militer Belanda terhadap tentara Republik di Indonesia dan menuntut dipulihkannya pemerintah Republik. Diserukan pula kelanjutan perundingan untuk menemukan penyelesaian damai antara dua pihak.[2]
Menyusul Perjanjian Roem-Royen pada 6 Juli, yang secara efektif ditetapkan oleh resolusi Dewan Keamanan, Mohammad Roem mengatakan bahwa Republik Indonesia, yang para pemimpinnya masih diasingkan di Bangka, bersedia ikut serta dalam Konferensi Meja Bundar untuk mempercepat penyerahan kedaulatan.[3]
Pemerintah Indonesia, yang telah diasingkan selama enam bulan, kembali ke ibukota sementara di Yogyakarta pada 6 Juli 1949. Demi memastikan kesamaan posisi perunndingan antara delegasi Republik dan federal, dalam paruh kedua Juli 1949 dan sejak 31 Juli–2 Agustus, Konferensi Inter-Indonesia diselenggarakan di Yogyakarta antara semua otoritas bagian dari Republik Indonesia Serikat yang akan dibentuk. Para partisipan setuju mengenai prinsip dan kerangka dasar untuk konstitusinya.[4] Menyusul diskusi pendahuluan yang disponsori oleh Komisi PBB untuk Indonesia di Jakarta, ditetapkan bahwa Konferensi Meja Bundar akan digelar di Den Haag.
Menyusul Perjanjian Roem-Royen pada 6 Juli, yang secara efektif ditetapkan oleh resolusi Dewan Keamanan, Mohammad Roem mengatakan bahwa Republik Indonesia, yang para pemimpinnya masih diasingkan di Bangka, bersedia ikut serta dalam Konferensi Meja Bundar untuk mempercepat penyerahan kedaulatan.[3]
Pemerintah Indonesia, yang telah diasingkan selama enam bulan, kembali ke ibukota sementara di Yogyakarta pada 6 Juli 1949. Demi memastikan kesamaan posisi perunndingan antara delegasi Republik dan federal, dalam paruh kedua Juli 1949 dan sejak 31 Juli–2 Agustus, Konferensi Inter-Indonesia diselenggarakan di Yogyakarta antara semua otoritas bagian dari Republik Indonesia Serikat yang akan dibentuk. Para partisipan setuju mengenai prinsip dan kerangka dasar untuk konstitusinya.[4] Menyusul diskusi pendahuluan yang disponsori oleh Komisi PBB untuk Indonesia di Jakarta, ditetapkan bahwa Konferensi Meja Bundar akan digelar di Den Haag.
Negosiasi
Perundingan menghasilkan sejumlah dokumen, di antaranya Piagam Kedaulatan, Statuta Persatuan, kesepakatan ekonomi serta kesepakatan terkait urusan sosial dan militer.[5] Mereka juga menyepakati penarikan mundur tentara Belanda “dalam waktu sesingkat-singkatnya”, serta Republik Indonesia Serikat memberikan status bangsa paling disukai kepada Belanda. Selain itu, tidak akan ada diskriminasi terhadap warga negara dan perusahaan Belanda, serta Republik bersedia mengambil alih kesepakatan dagang yang sebelumnya dirundingkan oleh Hindia Belanda.[6] Akan tetapi, ada perdebatan dalam hal utang pemerintah kolonial Belanda dan status Papua Barat.
Perundingan mengenai utang luar negeri pemerintah kolonial Hindia Belanda berlangsung berkepanjangan, dengan masing-masing pihak menyampaikan perhitungan mereka dan berpendapat mengenai apakah Indonesia Serikat mesti menanggung utang yang dibuat oleh Belanda setelah mereka menyerah kepada Jepang pada 1942. Delegasi Indonesia terutama merasa marah karena harus membayar biaya yang menurut mereka digunakan oleh Belanda dalam tindakan militer terhadap Indonesia. Pada akhirnya, berkat intervensi anggota AS dalam komisi PBB untuk Indonesia, pihak Indonesia menyadari bahwa kesediaan membayar sebagian utang Belanda adalah harga yang harus dibayar demi memperoleh kedaulatan. Pada 24 Oktober, delegasi Indonesia setuju untuk menanggung sekitar 4,3 miliar gulden utang pemerintah Hindia Belanda.[7]
Permasalahan mengenai Papua Barat juga hampir menyebabkan pembicaraan menjadi buntu. Delegasi Indonesia berpendapat bahwa Indonesia harus meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda. Di pihak lain, Belanda menolak karena mengklaim bahwa Papua Barat tidak memiliki ikatan etnik dengan wilayah Indonesia lainnya.[8] Meskipun opini publik Belanda yang mendukung penyerahan Papua Barat kepada Indonesia, kabinet Belanda khawatir tidak akan dapat meratifikasi Perjanjian Meja Bundar jika poin ini disepakati.[9] Pada akhirnya, pada awal 1 November 1949 suatu kesepakatan diperoleh, status Papua Barat akan ditentukan melalui perundingan antara Indonesia Serikat dengan Belanda dalam waktu satu tahun setelah penyerahan kedaulatan.[10]
Permasalahan mengenai Papua Barat juga hampir menyebabkan pembicaraan menjadi buntu. Delegasi Indonesia berpendapat bahwa Indonesia harus meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda. Di pihak lain, Belanda menolak karena mengklaim bahwa Papua Barat tidak memiliki ikatan etnik dengan wilayah Indonesia lainnya.[8] Meskipun opini publik Belanda yang mendukung penyerahan Papua Barat kepada Indonesia, kabinet Belanda khawatir tidak akan dapat meratifikasi Perjanjian Meja Bundar jika poin ini disepakati.[9] Pada akhirnya, pada awal 1 November 1949 suatu kesepakatan diperoleh, status Papua Barat akan ditentukan melalui perundingan antara Indonesia Serikat dengan Belanda dalam waktu satu tahun setelah penyerahan kedaulatan.[10]
Sumber : https://thpardede.wordpress.com/2015/10/09/konferensi-meja-bundar-kmb/
http://kalalampau.blogspot.co.id/2015/06/sejarah-dan-isi-perjanjian-konferensi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar